Habis Iklan Terbit Shalawat


Tya and friends

Munculnya Tya Subiakto sebagai konduktor Mega Shalawat merupakan catatan penting bagi komunitas musik Indonesia.

EKSPRESI kerinduan terhadap Nabi Muhammad SAW kini mengalami "reformasi". Emha Ainun Nadjib dan kelompok Kiai Kanjeng, misalnya, memulasnya dalam langgam dan syair Jawa seperti terdengar pada Tombo Ati yang diluncurkan tahun lalu.

Kemudian, datang Subiakto Priosoedarsono, tokoh periklanan nasional yang menggagas Mega Shalawat untuk konsumsi televisi. Lewat visualisasi yang indah dan harmonisasi vokal berlapis laiknya sebuah choir yang megah, Mega Shalawat -yang dikemas sebagai iklan layanan masyarakat- menjadi superhit tanpa harus bercokol di tangga lagu mana pun.

Subiakto, harus diakui, tampil dengan ide orisinal yang segar. Tapi yang membuat Mega Shalawat selalu terngiang di telinga banyak umat adalah aransemen apik garapan putri sulungnya yang belum genap berusia 20 tahun, Tya Sulestyawati Subiakto.

Tanpa gentar, multiinstrumentalis belia yang mahir bermain piano, saksofon alto, dan klarinet itu menyambut "tantangan" sang ayah ketika ide baru tersebut bergulir. "Modalnya 'pe-de' (percaya diri) aja," ujar Tya, yang mulai mengenal tuts piano ketika berumur 3 tahun. Tak dinyana, Mega Shalawat bahkan digemari artis senior semacam Hetty Koes Endang, yang kariernya jauh lebih panjang ketimbang umur Tya.

Rasa "pe-de" itu, menurut Tya, juga merupakan hasil pendidikan para mentornya seperti, "Om Elfa (Secioria) dan Om Indra (Lesmana)." Kebanggaan penggemar jazz, latin, dan fusion itu terhadap musisi lokal memang tak tanggung-tanggung. Tak seperti remaja seusianya, yang biasanya mengidolakan musisi asing, "Favorit Tya adalah Om Riza Arshad (pianis Simak Dialog) dan Om Dewa Budjana (gitaris Gigi)," ujarnya lugas.

Meski gaya bicaranya terkesan kekanak-kanakan, ketika tampil di panggung Tya berubah menjadi elegan. Simaklah, bagaimana penampilannya ketika menjadi konduktor T&T Orchestra pada acara "Ya Nabi Salam" yang disiarkan serentak oleh lima televisi swasta pada Hari Maulid Nabi, Senin lalu. Atau pada "Opera'Si Nyamuk" yang ditayangkan lebih awal, pada hari yang sama. Tanpa gugup, ia mengomandoi 35 musisi yang kebanyakan lebih senior, semisal gitaris Tohpati atau trumpetis Eric Awuy. Itu belum termasuk para penyanyi seperti Bimbo, Yana Julio, Rita Effendy, Trie Utami, Heidy Yunus, dan Andi Meriem Matalata. "Mereka memang lebih berpengalaman, tapi Tya memperlakukan semua sama sebagai teman, sehingga tak perlu minder," ujarnya, membuka kiat suksesnya.

T&T Orchestra, yang baru berdiri April silam, memang tak ubahnya orkestra keluarga bagi Tya. Selain didirikan sang ayah, dua adiknya juga main di situ. Dion yang menabuh drum, dan si bungsu Sati yang mengawal kibor. "Ini memang 'KKN', tapi dalam arti positif," ujarnya sambil tertawa.

Bagaimanapun, munculnya Tya sebagai konduktor tetap merupakan catatan penting buat komunitas musik Indonesia. Maklum, secara sosiologis Tya mengalami double minority di wilayah ini. Pertama, karena ia perempuan di sebuah domain yang disesaki lelaki. Kedua, karena kebeliaannya yang mencolok di tengah dominasi musisi paruh baya.

Untunglah, Tya, yang sebelumnya sukses menggarap jingle iklan populer, seperti Extra Joss serta Pahe dan Panas McDonald's, tak cukup puas hanya bermain di balik layar. Ia menyambut kesempatan yang muncul lewat Mega Shalawat.

 
K e m b a l i