Salawat dan Harmoni Kehidupan

Me and my Bokap

Berprestasi di usia muda. Dialah pemimpin sekaligus konduktor T&T Orchestra yang dalam beberapa penampilan terakhir mendapat sambutan meriah. Tya Sulestyawati, 19 tahun, tidak berani jauh-jauh dari ajaran agama. "Bagaikan partitur yang harus dipedomani," tuturnya. Tanpa partitur, orkestra kehidupan akan kacau balau.

"Apa? Kamu mau pakai jilbab? Papa nggak salah dengar, nih?" ujar Papa, tak bisa menutupi kekagetannya. Niat memakai jilbab memang aku utarakan tiba-tiba, pas ketika Papa sedang sibuk-sibuknya mengedit sebuah jingle hasil aransemenku.
"Iya. Boleh, kan Pa?"
"Ya boleh. Tapi kamu serius?"
Pagi keesokan harinya, diam-diam, aku pergi ke butiknya Tante Ida Royani dan membeli satu stel pakaian muslimah. Kebetulan sorenya akan ada acara ratiban yang memang rutin diadakan di lingkungan keluarga dan teman-teman Papa. Aku pakai, eh rasanya pas, gitu. Sementara Mama tak henti-hentinya menggoda dengan berdecak-decak. Aku cuek saja.
Terus, keesokannya lagi, ketika ada acara lain di rumah. Aku keluar dengan busana biasa, oblong pendek, nggak pakai jilbab, jins ketat. Yaa, gaya abege begitu deh. Eh, kok aku jadi risih. Kayaknya aku tidak memakai apa-apa. Padahal begitulah penampilanku sehari-hari. Aku tidak kuat, aku masuk ke kamar dan sejak itu aku tidak berani melepas jilbab lagi bila bertemu selain keluarga. Jodoh, kali, ya.
 
Sejuknya Air Salawat. Keinginan untuk memakai jilbab sih sebenarnya sudah ada jauh-jauh hari sebelumnya. Bermula ketika secara tiba-tiba Papa menodongku untuk mengaransir salawat badar. Aku ingat banget, karena itu diutarakan Papa di meja makan. Awal Februari 1998. Seperti biasa, kami ngobrol tentang berbagai hal. Terutama tentang krisis moneter yang mulai membuat panik masyarakat. "Kayaknya kita mesti bikin sesuatu yang bisa sedikit menenangkan hati. Apa, ya?" kata Papa.
Papa coba mencari rujukan dari ajaran-ajaran agama berupa zikir atau doa. Setelah menunaikan ibadah haji setahun sebelumnya, Papa memang semakin banyak meluangkan waktu untuk menggali khazanah Islam yang berhubungan dengan latihan kejiwaan. "Ya, sudah. Bikin salawat saja," kata Papa kemudian. Dan, yang mengejutkanku, "Tya yang bikin aransemennya. Dalam seminggu ini harus klar."
Waduh, jelas aku langsung bingung saat itu. Sejak kecil aku memang sekolah di sekolah Islam, tapi aku kan tidak menguasai betul makna atau tujuan salawat. Dengar-dengar, sih, biasa. Terutama pada bulan Ramadan. Dengan feeling musikku aku bahkan sering mengeritik pembawaan salawat di televisi. Wah, kayaknya nggak enak, deh, kalau salawatnya di-popin begitu. Mestinya begini, begini, begini. Tapi untuk membuat aransemennya, kan kita mesti menyelami makna liriknya.
Akhirnya aku tanya ke sana ke mari. Kepada tanteku, guru ngajiku, juga teman-teman yang aku anggap tahu. Pokoknya, satu minggu itu, tidak ada urusan lain kecuali salawat. Dan alhamdulillah, dengan bantuan papa, Tante Neno Warisman, Ustaz Muchyar (qari’ internasional yang menjadi guru ngaji Tya, Red.), dan teman-teman, aransemen itu jadi juga dalam waktu yang begitu pendek. Aku puas, dan pada hari terakhir proses aransir, tak terhitung berapa kali Salawat Badar itu aku lantunkan. Tidak sekadar untuk memperlancar atau memeriksa apakah masih ada kekurangannya, tapi sepertinya memang ada kenikmatan tersendiri ketika melantunkan puja-puji dan doa untuk Rasulullah itu.
Shalaatullah, salaamullah, ‘ala taha rasulillah

shalaatullah, salaamullah, ‘ala yasin habibillah

tawassalna bi bismillah,

wa bil hadi rasulillah

wakuli mujahidillillah

biahlil badri ya Allah.

Perfect! Malam itu, usai proses mixing, sebelum pulang meninggalkan studio, aku sempatkan dulu mampir ke musala untuk salat isya. Masya Allah, ketika telapak tanganku menyambut air yang mengucur dari keran untuk berwudu, tiba-tiba, sejuknya air terasa merambat dan menyelimuti sekujur tubuhku. Dadaku bergemuruh, ada rasa haru, bangga, damai, bahagia, dekat dengan Rasulullah, dan entah perasaan apa lagi. Sulit aku gambarkan dengan kata-kata. Tapi aku bisa mendengar, ada bisikan dalam hatiku, "Ya Allah, begitu sayangnya Engkau kepadaku sehingga pekerjaan berat itu bisa aku selesaikan."
Dalam salat, semua perasaan itu tumpah menjadi air mata ke permukaan sajadah. Aku nggak tahu, semua itu persisnya karena apa. Tapi yang jelas, sejak saat itu, aku merasa selalu ingin memenuhi semua ajaran agama yang aku tahu. Untuk berbuat yang tidak-tidak, abring-abringan seperti biasa, rasanya tidak tega. Salat, yang sebelumnya masih ada bolong-bolongnya, tidak lagi, deh. Rugi rasanya untuk ditinggalkan. Perayaan hari ulang tahunku yang ke-19 beberapa pekan setelah itu, aku rencanakan tidak pakai pesta-pestaan. Aku berniat mengundang anak yatim, makan-makan dengan mereka, ngobrol, dan membagi-bagikan sembako. Saat itu pulalah terbetik juga keinginan untuk memakai jilbab. Pakai jilbab, tidak, ya? Kayaknya boleh juga.
 
Dibawa ke Neurolog. Untuk semua itu, terus terang, aku memang harus berterima kasih kepada Papa. Setelah memanjatkan puji syukur kehadirat Allah s.w.t., tentunya. Karena dukungan Papa-lah yang membuat aku bisa seperti ini. Pada usia tiga tahun, aku sudah didaftarkan ke Yayasan Musik Indonesia. Sederhana saja alasannya: Papa memergokiku sedang memencet-mencet tuts organ sementara para pembantu berderet di sampingku, berperan sebagai penyanyi. "Mbak, Mas, sini. Nyanyi, ya, nyanyi, ya, Tya yang main organ."
Papa pula yang bisa memahami ketika di SMA prestasiku jeblok karena terlalu sibuk di paduan suara. Sebagai dirigen paduan suara SMA 34, aku sebenarnya hebat, mampu membawa grupku meraih juara satu dalam sebuah festival. Tapi, beberapa hari setelah menerima piala kejuaraan itu, aku menerima rapor yang merahnya ada sembilan. Yang hijau cuma Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Agama, dan Kesenian. Papa dan Mama terang saja kaget dan sempat marah-marah. "Nih, kamu ranking satu dari belakang!" teriak Mama. Aku diam saja. Besoknya, aku dibawa ke seorang neurolog. Di sebelahku duduk pasien lain, penyandang cacat mental. Aduuuh, aku kan tidak apa-apa. Pelajaranku jeblok gara-gara aku terlalu konsentrasi ke paduan suara. Kala itu, kalau sudah kena musik, aku memang langsung lupa dengan yang lain. Untunglah Papa mengerti dan justru mendorong aku dan adik-adikku, Gion dan Sati, untuk membentuk grup musik T&T Explotion yang kini menjadi T&T Orchestra.
Dan, yang paling penting, karena bimbingan Papa pulalah maka rasa keberagamaanku terus tumbuh. Aku tidak hanya dipilihkan TK, SD, dan SMP Islam Al-Azhar, tapi juga di rumah setiap minggu ada pengajian yang harus aku ikuti. Dan, ini yang paling berkesan, kebiasaan Papa bercerita tentang agama betul-betul sangat membantu pemahamanku tentang agama. Kayaknya Papa memang keranjingan cerita, di meja makan, di mobil, di ruang kerja, bahkan sampai di restoran. Anehnya, cerita-cerita Papa tidak pernah membosankan, kadang-kadang sampai menuangkan kecap ke dalam gelas minuman segala, untuk menggambarkan bagaimana kotoran mengendap di dalam diri kita bila tak mengindahkan ajaran agama.
Sebelum aku menginjak SMA, cerita Papa masih berkisar tentang halal-haram, surga-neraka, dan kisah-kisah nabi yang ringan-ringan. Tapi, setelah itu, cerita Papa mulai tentang yang abstrak-abstrak menyangkut hakikat beragama. Sejak muda Papa memang rajin mengikuti pertemuan sebuah kelompok latihan olah jiwa yang membantu dia dalam memahami ajaran-ajaran agama. Mungkin untuk orang seusiaku hal itu masih terlalu berat, tapi karena Papa tidak bosan-bosannya bercerita, ditambah dengan caranya yang enak, pelan-pelan aku nyambung juga.
 
Ya Syariat, Ya Hakikat. Dalam pemahamanku, kehidupan keagamaan kita memang harus meliputi syariat dan hakikat. Aku harus berupaya keras menjalankan semua syariat agama seperti salat, puasa, zakat, berbuat baik, patuh kepada kedua orangtua, dan sebagainya. Tapi di samping itu, yang tidak kalah penting, aku juga harus memahami hakikat dari segala syariat yang aku jalankan itu. Pada tataran syariah, kita salat kan untuk mendapatkan pahala. Tapi, kadang-kadang, kita salat tapi tidak bisa merasakan pahalanya. Pahala itu apa, sih? Nah, bila kita sudah bisa sedikit memahami bahkan bisa merasakan nikmatnya pahala salat, ketika nggak salat pun kita sebenarnya bisa merasakan itu dengan hanya mengingatnya.
Konon musik itu haram. Tapi aku bilang, tidak, sepanjang kita tahu aplikasinya. Kalau aplikasinya untuk abring-abringan, mengajak yang munkar, ya haram lah. Tapi kalau aplikasinya untuk syiar, persatuan bangsa, membuat kita merasa dekat dengan Allah, dengan Rasulu-Nya, mengajak beribadah, ya pasti berpahala, dong.
Masih ada yang mengira musik islami itu hanya yang memakai rebana atau gambus. Tentu bukan itu ukurannya. Yang harus kita lihat adalah liriknya. Musik etnik Arab memang punya minor harmonik dan tangga nada yang khas. Itu memang bagus kita pakai pada lagu-lagu religius. Tapi manfaatnya hanya untuk menciptakan nuansa atau konotasi etnik Arab yang memang mayoritas muslim. Cuma, ya tanpa nuansa Arab pun sebuah lagu tetap bisa dinilai religius bila hakikat lagunya memang bagus.
 
Menjaga Harmoni. Setelah pakai jilbab lantas kehidupan keagamaan kita sudah sempurna? Ya tentu tidak, dong. Cuma, aku memang sangat bersyukur karena merasa mendapat banyak kemudahan setelah berani menyandang atribut muslimah ini.
Kalau membayangkan awal aku terjun ke dunia musik ini, terus terang, tanpa kasih sayang-Nya, rasanya tidak mungkin aku bisa berbuat banyak. Sebelumnya, sebagai pemimpin biro iklan yang juga untuk media audio visual, Papa sudah punya jingle maker yang hebat. Tapi karena satu dan lain hal, Papa melepas dia ke tempat lain dan harus mencari jingle maker baru. Entah mendapat dorongan dari mana, saat itu Papa bilang, "Eh sini. Kamu bikin jingle, ya. Pokoknya sore ini harus jadi. Studio sudah di-booking satu ship." Aku tidak bisa menolak. Waduh, bagaimana, ini. Tapi, dengan bismillah, aku kerahkan semua pengetahuan yang aku miliki dari sekolah musik selama ini, aku keluarkan semua pengalaman yang pernah aku timba dari musisi-musisi senior, alhamdulillah, "todongan" Papa bisa aku laksanakan dan sukses. Hasil kerjaku cukup bisa diterima secara luas. Mega Shalawat, contohnya. Setelah itu, ya jadilah studio sebagai tempat nongkrong-ku. Bukan hanya jingle maker, aku juga membuat aransemen, dan tampil sebagai konduktor. Kalau Allah tidak sayang, bisa, nggak tuh?
Karena itu, aku dan teman-teman membuat komitmen, kami tidak akan menerima order yang kira-kira menyerempet bahaya. Membuat jingle iklan bir, misalnya. Bahkan di T&T Orchestra kita sudah berjanji tidak akan memainkan lagu-lagu pop Barat. Alasannya, tidak banyak lagu pop Barat yang punya misi dan visi. Lagu Indonesia lebih jelas bisa kita pilih untuk mengadakan penampilan yang penuh makna. Aku yakin komitmen kami itu tidak membatasi ruang gerak kami. Ruang gerak yang nggak aneh-aneh masih luas, kok, untuk kita berkiprah.
Hidup, seperti juga sebuah orkestra, harus dijaga harmoninya. Sementara ajaran agama, ya itulah partitur yang harus kita pedomani.

Biodata


Tya Sulestyawati Subyakto

 
Lahir Jakarta, 2 Maret 1979

Pendidikan TK, SD, SMP Al-Azhar Kemang, 1983-1993

SMA 34 Jakarta, 1996

Fakultas Keguruan dan Pendidikan, Universitas Katolik Atmajaya, tidak selesai

Pendidikan musik

Yayasan Musik Indonesia, 1983-1986

Yayasan Pendidikan Musik, Jakarta, 1986-1990
 


Konon musik haram. Tapi tidak, bagi Tya. Tergantung aplikasinya. Kalau mengajak kemunkaran, pasti haram. Kalau imbauannya itu untuk mendekatkan kita dengan Allah dan Rasul-Nya, tentu berpahala.

K e m b a l i